CERPEN

CERITA PENDEK

Ayah, Bolehkah…
~Tuhan, bolehkah aku meminta waktu yang lalu? Aku rindu pada utusan-Mu yang selalu menjagaku.~

“Ah elah susah amat sih tadi kuisnya.”
“Eh tadi lu pelit amat sih ngga ngasih gua contekan.”
“Yuk ah cabut. Parah nih otak gua udah berasep banyak.”
“Main dulu ke rumah gua yuk. Gua baru beli alat-alat make-up baru nih. Kita bikin review buat blog gua.”
Keadaan kelas itu begitu gaduh. Semua orang yang di dalamnya bersiap-siap mengemasi barang dan mulai pergi satu persatu. Namun ada satu orang yang masih terdiam. Ia tertunduk melihat meja putihnya yang menjadi buram. Satu kedipan matanya sukses membuat aliran bening mengalir ke pipi yang berkulit sawo matang itu. Achazia Adya dengan cepat mengusap air matanya. Hari ini, tepat tanggal 18 Oktober adalah ulang tahun ayahnya yang ke-64. Namun ia tidak mau pulang. Ia tidak mau merasakan keheningan yang menyeramkan.
“Zia, lu mau ikut cabut sama kita ga?” tanya Adit sang ketua kelas sebelum berangkat.
“Gua nyusul aja ya. Ada urusan dulu bentar. Nanti lu kasih tau gua aja posisi dimana. Oke?”
***
-20 September 2015-
Zia merapikan alat tulisnya yang berserakan di atas meja. Sesekali ia melihat jam tangannya seakan terburu-buru. Jadwalnya setelah pulang kuliah ini adalah pergi belanja untuk mempersiapkan pesta kelulusan bersama teman-temannya saat tingkat satu.
“Yap gua belum telat.” ujar Zia sembari menyelempangkan tas berwarna coklatnya.
Ia berjalan terburu-buru menyusuri lorong dan turun lewat tangga. Entah sudah ada berapa orang yang tak sengaja ia tabrak. Intinya ia tidak boleh telat. Sebab ini adalah pesta yang pastinya akan menyenangkan. Apalagi jika mengingat Clarynta Dwi ikut dalam acara ini. Seorang gadis yang menurut Zia paling cantik di kelas. Maka tak menutup kemungkinan banyak sekali lelaki yang menyukai Aryn, Zia adalah salah satunya. Dan malam ini, Zia akan mempersiapkan suatu kejutan spesial untuk Aryn.
“Untung aja belum gua tinggal. Cepet masuk.” teriak Anton saat melihat Zia berlari menuju parkiran.
“Iya tadi gua telat bubar. Biasalah dosennya demen liat muka gua. Betah dia.”
“Sepik mulu lo, basi. Pasang seatbelt. Kita jemput dulu yang lain di perempatan sana.”
Anton menggas mobilnya menyusuri jalanan Jakarta yang cukup lenggang pada siang itu. Mereka bercerita tentang kelas barunya masing-masing. Sesekali mereka tertawa bersama mengingat kejadian di saat mereka masih satu kelas.
“Eh tuh mereka nunggu disana. Kasih lampu sen dulu gih jangan kaya angkot.” ucap Zia sambil menunjuk ke arah kiri jalan. Di sana sudah ada 2 orang lelaki berdiri. Indra yang menggunakan kacamata dan satu lagi Bobby yang rambutnya gondrong.
“Buru naik lu berdua.” teriak Anton saat mobilnya sudah berada di bahu jalan. Dengan segera Indra membuka pintu belakang dan masuk kedalam. Diikuti oleh Bobby yang langsung mendorong Indra.
“Eh santai aja kali. Rusak tuh jok gua gegara lu pada.”
“Gua nunggu lama banget parah. Panas lagi. Coba deh lu yang nunggu sana.” celoteh Bobby sembari menyeka keringatnya.
“Berisik eh berisik. Mendingan mikir aja deh mau belanja apa aja nanti.” ujar Zia dan diikuti oleh senyuman tipis teman-temannya itu.
Anton mendorong trolly yang sudah hampir penuh setengahnya. Snack, kue, minuman bersoda, daging sapi, bumbu barbeque, kembang api dan banyak lagi barang yang mereka pilih. Siapapun yang melihat belanjaan mereka, sudah pasti tahu bahwa mereka akan menyiapkan sebuah pesta yang cukup menyenangkan.
Setelah di rasa cukup, Anton membawa belanjaannya itu ke kasir. Ia menyerahkan sebuah kartu untuk membayar belanjaannya. Anton memanglah orang yang paling royal. Jadi maklum saja jika berpergian dengan Anton kita tidak akan mengeluarkan uang sepeserpun.
“Rame nih pasti ntar malem.” ujar Indra sembari menaik-turunkan alilsnya.
“So pastilah.  Jangan ada yang ngga dateng ya ntar. Palingan gua mau pulang dulu bentar. Mandi terus minta ijin ke bokap.” sahut Zia sembari memasukkan lagi belanjaannya ke trolly.
“Ah so baik amat lu jadi anak. Biasanya juga langsung cabut aja, haha.” timpal Anton dengan sebuah pukulan cukup keras ke bahu Zia.
“Ya seengganya kan gua minta ijin aja. Lagian kalo gua nggak balik dulu, masa iya baju gua lusuh begini mau ketemu Aryn. Pokonya gua harus paling ganteng.”
“Selo aja kali Zi, ketara juga kok dia demennya sama lo. Mau saingan lo seberat kita pun kayanya Aryn tetep milih lo deh, haha.” ujar Bobby diikuti sikutan kecil pada Zia.
“Ya syukur deh kalo gitu. Ntar lu anter gua ke rumah dulu ya, Ton. Malemnya gua dateng sendiri kok, jam 8 kan?”
***
Zia memasuki rumahnya yang megah itu. Rumah ini memang sepi, mengingat ia adalah anak tunggal di keluarga ini. Ditambah lagi ibunya yang sudah meninggal karena penyakit kanker. Kejadian itu sekitar sepuluh tahun yang lalu. Entah saat Zia  berada di sekolah dasar atau sekolah menengah pertama. Ia tidak mau mengingat-ingat hal itu. Zia tidak mau lagi bersedih mengingat orang kesayangan pertamanya pergi meninggalkan dunia.
Zia melewati ruang tamu, ada ayahnya yang membaca koran ditemani dengan secangkir kopi. Semerbak kopinya bisa mengisi seluruh paru-paru Zia bahkan satu ruangan ini pun wangi kopi. Ayahnya memanglah pecinta kopi. Bagaimana tidak? Usaha sampingan ayahnya adalah sebagai pemilik kedai kopi yang cukup terkenal di Bandung. Maka dari itu terkadang ayahnya sering pergi meninggalkan Zia di Jakarta, sendiri.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
Singkat. Seperti itulah percakapan rutin yang Zia dan ayahnya lakukan. Semenjak ibunya meninggal, Zia merasa bahwa ayah tidak pernah menyayanginya. Kewajiban ayah hanyalah memberi uang bulanan dan memberi uang study yang di butuhkan Zia. Zia masih menunggu respon lanjutan dari ayahnya. Namun nihil, ayahnya masih saja asyik membaca koran. Tidak menutupnya, bahkan melirik wajah Zia pun tidak. Zia kembali tersadar. Malam ini ia tidak boleh telat. Dengan cepat ia berjalan menaiki tangga dan bersiap masuk ke dalam kamarnya.
Setelah Zia mandi dan memilih baju yang cocok ia melihat lagi pantulan kacanya di cermin. Sudah cukup menurutnya. Perawakan Zia yang tinggi dengan kulit sawo matang dan memiliki warna mata coklat hazelnut membuat siapa pun akan terpikat pada pandangan elangnya. Mata tajam yang memicing itu ia dapatkan dari sang ayah. Sedangkan bentuk bibirnya yang lumayan tebal dan hidungnya yang cukup mancung ia dapatkan dari ibunya. Andai saja masih ada ibu disini, pasti Zia akan menceritakan rencana surprisenya untuk Aryn.
Zia memasang kancing yang terakhir di kemejanya. Kini ia sudah sangat siap. Zia memasangkan jam tangannya yang menunjukkan pukul 18.30. Satu jam adalah waktu yang cukup banyak untuk pergi ke rumah Anton, bahkan lebih. Zia memberikan beberapa semprot parfum yang beraroma mint itu. Siapapun yang menghirupnya pasti akan diresapinya dalam-dalam.
Zia menuruni tangga. Ada ayahnya yang masih memakai peci rapi dengan sarung dan baju kokonya sedang duduk menonton berita di TV. Zia menghampirinya duduk di sebelah ayahnya. Ntah ada angin apa di hari itu, Zia ingin sekali berbincang dengan ayahnya. Membicarakan hal lelaki yang biasanya anak dan ayah yang lain lakukan.
“Ayah, kapan lagi ke Bandung?” Zia membuka topik pembicaraan.
“Besok ayah pergi ke Bandung. Tumben kamu bertanya.” jawab ayahnya sembari mengecilkan volume TV. “Sudah rapi, mau kemana?”
“Aku ada acara sama teman tingkat satu, yah. Ini aku mau pergi.”
“Dimana?”
“Rumah Anton.”
“Anton? Yang waktu itu pernah kamu ajak ke rumah pas ayah pulang dari Bandung?”
“Iya, yang itu. Rumahnya agak jauh sih. Hampir masuk daerah Depok.” jelas Zia dengan singkat.
“Siapa aja yang dateng?”
“Temen anak kelas aku waktu tingkat satu. Mungkin sekitar 25 orang yang pasti ikut.” Zia mulai malas menanggapi pertanyaan ayahnya.
“Jam berapa acaranya?”
“Jam setengah delapan.”
“Sampai?”
“Tidak tentu juga. Tergantung.”
“Tidak boleh.”
Zia terdiam sejenak mendapat jawaban singkat dari ayahnya. Ia kesal, tetapi jika ia marah tidak akan menghasilkan apapun. Mungkin persiapannya ini akan menjadi berantakan jika dilawan dengan emosi.
“Tapi yah, ini hanya sekali. Kita bakar-bakaran aja kok. Ayah nggak usah khawatir.”
“Sekalinya ayah bilang tidak ya tidak!”
“Ayaaah!” Zia membentak ayahnya.
“Kamu ini nurut sama orang tua bisa nggak? Ayah kan sudah bilang, tidak boleh!” kini ayah Zia berdiri dari duduknya. Zia yang mulai terpancing emosi pun ikut berdiri dan menatap ayahnya dengan tajam. Kedua mata elang itu bertemu, saling menatap, tajam, dan menakutkan.
“Ayah, aku cuma mau seneng-seneng sebentar aja nggak boleh! Ayah kira aku nggak cape apa? Kuliah hampir setiap hari terus! Di rumah sepi setiap kali aku pulang, nggak ada yang urus aku yah! Nggak ada! Giliran aku mau seneng sama temen aku, ayah nggak pernah ngasih ijin! Ayah emangnya bisa buat aku seneng? Nggak kan yah?”
“Sekalinya ayah bilang tidak ya tidak, Adya! Kamu kira ayah pergi keluar kota itu untuk apa? Itu kan untuk kebahagiaanmu juga!”
“Aku nggak butuh uang yah! Aku butuh sosok ibu! Semenjak ibu meninggal, aku sendirian yah! Ayah kemana? Ayah nggak pernah bisa menjadi senyaman ibu! Aku pulang kuliah aja ayah nggak pernah nanya progress aku di kampus gimana kan? Ayah memang ngga pernah peduli sama aku! Ayah jahat! Ayah egois!”
Zia segera pergi keluar sebelum air matanya menetes. Untung saja ia sudah meminta Pak Udin untuk memanaskan mobil di depan rumah. Jadi dengan cepat Zia bisa menancap gas dan meninggalkan rumah yang menurutnya menyedihkan itu.
Zia memukul-mukul setirnya. Ia menggigit bibirnya mengeluarkan semua air mata yang selalu ia tahan untuk ibunya. Mengeluarkan air mata yang selalu ia tahan saat merasa sakit hati oleh ayahnya. Zia merasa bukanlah anak kandung ayahnya. Semenjak ibunya pergi, sudah hilang semua yang menyangi Zia. Tidak ada satupun di dunia ini. Termasuk ayahnya.
Zia semakin menekan pedal gasnya. Matanya buram dengan air yang menggenang. Sorot lampu depannya yang sangat silau diiringi suara klakson adalah hal terkahir yang ia ingat.
“BRAAAAK..”
Tubuh Zia terlempar ke depan. Serpihan kaca membuat darah segar mengalir deras dari wajahnya yang tampan itu.
***
“Tut.. tut.. tut..”
“Halo?”
“Halo. Dengan kediaman mas Achazia Adya? Ini dari Rumah Sakit Santosa. Achazia membutuhkan donor darah dan sepasang kornea mata. Baru saja ia kecelakaan mobil karena menghindari truk dari lawan arah.”
“Ya, saya akan pergi kesana.”
***
-18 Oktober 2015-
Zia menyusuri komplek pemakaman yang terlihat terawat itu. Ditangannya sudah ada dua bucket bunga yang baru saja ia beli di jalan. Napasnya semakin berat seiring langkahnya yang semakin mendekat. Kini ia sudah berada diantara kedua makam itu. Makam kedua orang tuanya. Keluarga intinya yang menghilang.
“Ayah selamat ulang tahun.” ucap Zia sembari meletakkan sebuah bucket diatas makam ayahnya. “Maaf Zia nggak bawa kue tiramisu kesukaan ayah. Anak kelas aku yang baru baik-baik kok.”
“Ibu, ini buat ibu.” Zia melakukan hal yang sama untuk makam yang satunya lagi. “Zia kangen sama masakan mamah. Apalagi sayur asemnya. Hehe.”
“Yah, ternyata jadi ayah sibuk banget ya. Hampir tiap minggu keluar kota terus. Zia baru ngerasain sekarang. Semenjak ayah nggak ada. Tapi Om Rio nemenin Zia terus kok. Jadi, Zia nggak terlalu bingung deh. Maafin Zia, yah. Zia suka nggak ngehargain usaha ayah.” Zia tersenyum, tangannya mengelus nisan  yang masih terlihat baru.
“Ibu, Zia juga minta maaf kalau Zia dulu nakal. Zia sering gangguin ibu waktu masak. Padahal kan  niatnya bantu ibu, tapi malah recokin masakan ibu. Ibu inget nggak, dulu zia pernah masukin kulit bawang ke dalam sop ayam? Terus sama ayah kemakan kulit bawangnya, haha.”
“Ayah..” Zia menarik napasnya dalam. “Terimakasih udah mempercayakan Zia untuk menitipkan mata ayah. Zia janji, nggak akan nangis dengan mata ayah yang kuat ini.”
Zia mengeluarkan selembar kertas dari saku kemejanya. Dibuka lagi lembaran itu, tulisan khas ayahnya yang rapi, apik dan agak miring itu tercetak diatasnya,
“Zia, waktu kamu membaca ini pasti ayah sudah tidak ada. Kamu harus jadi lelaki yang lebih kuat lagi setelah ayah pergi. Semua asset ayah sudah ayah pindahkan menjadi atas nama kamu. Om Rio akan membantu kamu perlahan-lahan. Dia akan mengajarkan kamu semuanya dari nol. Ayah percayakan kamu ke Om Rio ya. Semua surat berharga ayah simpan di kotak coklat yang ada di dalam lemari pakaian ayah. Ayah donorkan kornea mata ayah untuk kamu. Kamu lebih membutuhkannya daripada ayah. Jangan pernah mengeluarkan air matamu untuk hal yang sia-sia ya, nak. Ingat, kamu harus lebih kuat dari ayah dan ayah tahu pasti kamu bisa. Ayah tidak mau merepotkan kamu untuk ke depannya. Apalagi nanti ayah akan buta. Jadi ini jalan yang ayah ambil. Ayah donorkan semua organ ayah yang masih berfungsi baik dan ayah sudah disini, bersama ibu. Jangan pernah merasa kesepian, ayah dan ibu sayang sekali padamu, nak. Jangan pernah menganggap ayah tak peduli. Karena ayah sangat peduli padamu. Namun, pastinya cara ayah dan ibu tidak mungkin sama. Kamu tahu kenapa hampir setiap dosen memberikanmu tugas tambahan? Karena ayah yang memintanya, ayah ingin kamu sibuk mengerjakan tugas. Diam di rumah, walaupun terkadang ayah tak ada di rumah. Ayah sangat sayang padamu. Satu-satunya buah hati di rumah. Kamu segalanya untuk ayah. Maaf bila ayah tak bisa menjadi seorang ayah yang terbaik untukmu. Sekali lagi, ayah sangat menyayangimu Zia.”